Translate

slider

Terbaru

Navigasi

Anak sudah Bertanya tentang Tuhan, Berat?


Datang seorang anak berusia belasan tahun yang kerap duduk di sebelah saya dan menanyakan banyak hal. Saya pikir, anak seusia itu banyak bertanya menandakan daya pikirnya hidup. Patut diberikan apresiasi. Masalahnya, ia bertanya tentang fenomena ketuhanan. Berat?
 Pertanyaan demi pertanyaan bocah ini seringkali membuat saya berkerut. Entah apa yang menjadi problematika hidupnya, tetapi saya kira ia tipikal anak perenung. Apalgi setiap pertanyaannya mampu menggetarkan jiwa. Sedikit memang, namun menimbulkan sedikit kegelisahan tersendiri.
Seperti yang terjadi kali ini, saya kembali dihampiri bocah ini. Sebagaimana yang kemaren-kemaren, ia pura-pura membaca buku yang saya tumpuk di depan komputer.
"Apakah memang betul bahwa Tuhan itu Maha penolong dan mengabulkan doa mas?" Begitu ia mencoba mengawali pertanyaan. Kadang lucu juga mendengar sekelumit demi kelumit pertanyaannya itu, namun begitu menelusuri sorot matanya, saya tersadar. Rupa-rupanya ia memang tak sedang main-main atau bercanda. Tersirat kesungguhan rasa ingin tahu di sana. Di dalam pikirannya.
"Bagaimana mas..." Katanya lagi.
Saya tersenyum simpul atas ketidaksabarannya.  Saya rasa saya memang tak perlu tergesa dan terburu memberikan jawaban. Saya harus beri dulu jeda sejenak sebelum memberikan jawaban. Salah menjawab bakal makin bikin bubrah cara berpikirnya.
"Kenapa kamu menanyakannya? Apa kamu sedang memiliki harapan dan mendoakannya?" sahut saya kemudian. Ternyata dia menggeleng.
"Begini lho mas. Saya sering melihat, ada orang yang sangat giat berdoa, tetapi mengapa kok dia tetap gagal? Doanya kagak makbul? Bahkan, seringkali saya lihat ada orang yang sama sekali tidak berdoa malah berhasil? Ataukah memang berdoa dan tidak berdoa itu sebenarnya sama saja? Tidak akan mengubah keadaan apapun?"
Saya terhenyak. Juga terperangah. Menukik sekali rentetan pertanyaannya. Saya mencoba memandangnya dengan lekat. Mencoba menelusuri alasan utama yang membuatnya memiliki pertanyaan yang belum waktunya itu.
"Darimana kita bisa menilai bahwa seseorang itu memang sangat giat berdoa, sedang yang satunya lagi tidak pernah berdoa?" Saya memilih menanya balik. Lumayan juga, kali ini bocah ini terhenyak. Tampaknya ia tak menduga bakal ditanya seperti ini. Sesaat dia gelagapan.
"Barangkali, bisa saja hanya kamu yang kebetulan tidak melihat dia berdoa? Sebab, doa yang tidak kelihatan, seringkali jauh lebih makbul lho?"  Lagi-lagi dia gelegapan dan keluar kata oh dari mulutnya. Mungkin kaget.  
Segera saya tepuk-tepuk bahunya, khawatir pertanyaannya lebih panjang sebagaimana hari sebelumnya.
"Kau punya fisbuk?" Ia mengangguk. 
"Apakah status yang penuh doa juga menandakan ia sedang khusyuk berdoa? Boleh jadi ketika menulis, ia sembari ngemil sebungkus roti toh? Maksudnya, belum tentu status yang tak pernah ada kalimat doanya, terus kita anggap dia tak pernah berdoa kan? Bukankah begitu?"
"Mungkin...." sahutnya ragu, namun sinar matanya yang semula redup, mulai menampakkan sinar. Saya gembira. Berarti ia mau menerima jawaban yang saya berikan itu.
"Ya sudah ya? Kita lanjut lagi kapan-kapan ya? Sementara tak selesaikan kerjaan dulu," kata saya mencoba menutup perbincangan. Khawatir juga bakal berkepanjangan. Lagipula apa yang saya utarakan perlu ia cerna dalam hayati dulu sebelum menuju yang lain-lainnya.
Tetapi satu hal penting yang saya catat dari anak ini, bahwa anak zaman sekarang makin tua saja cara berpikirnya. Saya tidak tahu apa penyebabnya.
Boleh jadi, makin mudahnya memperoleh bahan bacaan, menonton televisi dan teknologi, telah banyak menggeser cara berpikir mereka. Benarkah? Entahlah. Boleh jadi. Tetapi yang pasti, sebagai orang tua, kita juga perlu selalu up date informasi, terutama seperti apa lingkungan anak bergaul, apa yang ia baca-tonton dan apa saja yang ia idolakan. [] 
Bagikan
Banner

Mnews.web.id

Tulis Komentar:

0 komentar: