Datang seorang anak berusia belasan tahun yang kerap duduk di sebelah saya dan menanyakan banyak hal. Saya pikir, anak seusia itu banyak bertanya menandakan daya pikirnya hidup. Patut diberikan apresiasi. Masalahnya, ia bertanya tentang fenomena ketuhanan. Berat?
Pertanyaan
demi pertanyaan bocah ini seringkali membuat saya berkerut. Entah apa
yang menjadi problematika hidupnya, tetapi saya kira ia tipikal anak
perenung. Apalgi setiap pertanyaannya mampu menggetarkan jiwa. Sedikit
memang, namun menimbulkan sedikit kegelisahan tersendiri.
Seperti
yang terjadi kali ini, saya kembali dihampiri bocah ini. Sebagaimana
yang kemaren-kemaren, ia pura-pura membaca buku yang saya tumpuk di
depan komputer.
"Apakah
memang betul bahwa Tuhan itu Maha penolong dan mengabulkan doa mas?"
Begitu ia mencoba mengawali pertanyaan. Kadang lucu juga mendengar
sekelumit demi kelumit pertanyaannya itu, namun begitu menelusuri sorot
matanya, saya tersadar. Rupa-rupanya ia memang tak sedang main-main atau
bercanda. Tersirat kesungguhan rasa ingin tahu di sana. Di dalam
pikirannya.
"Bagaimana mas..." Katanya lagi.
Saya
tersenyum simpul atas ketidaksabarannya. Saya rasa saya memang tak
perlu tergesa dan terburu memberikan jawaban. Saya harus beri dulu jeda
sejenak sebelum memberikan jawaban. Salah menjawab bakal makin bikin
bubrah cara berpikirnya.
"Kenapa kamu menanyakannya? Apa kamu sedang memiliki harapan dan mendoakannya?" sahut saya kemudian. Ternyata dia menggeleng.
"Begini
lho mas. Saya sering melihat, ada orang yang sangat giat berdoa, tetapi
mengapa kok dia tetap gagal? Doanya kagak makbul? Bahkan, seringkali
saya lihat ada orang yang sama sekali tidak berdoa malah berhasil?
Ataukah memang berdoa dan tidak berdoa itu sebenarnya sama saja? Tidak
akan mengubah keadaan apapun?"
Saya
terhenyak. Juga terperangah. Menukik sekali rentetan pertanyaannya.
Saya mencoba memandangnya dengan lekat. Mencoba menelusuri alasan utama
yang membuatnya memiliki pertanyaan yang belum waktunya itu.
"Darimana
kita bisa menilai bahwa seseorang itu memang sangat giat berdoa, sedang
yang satunya lagi tidak pernah berdoa?" Saya memilih menanya balik.
Lumayan juga, kali ini bocah ini terhenyak. Tampaknya ia tak menduga
bakal ditanya seperti ini. Sesaat dia gelagapan.
"Barangkali,
bisa saja hanya kamu yang kebetulan tidak melihat dia berdoa? Sebab,
doa yang tidak kelihatan, seringkali jauh lebih makbul lho?" Lagi-lagi
dia gelegapan dan keluar kata oh dari mulutnya. Mungkin kaget.
Segera saya tepuk-tepuk bahunya, khawatir pertanyaannya lebih panjang sebagaimana hari sebelumnya.
"Kau punya fisbuk?" Ia mengangguk.
"Apakah
status yang penuh doa juga menandakan ia sedang khusyuk berdoa? Boleh
jadi ketika menulis, ia sembari ngemil sebungkus roti toh? Maksudnya,
belum tentu status yang tak pernah ada kalimat doanya, terus kita anggap
dia tak pernah berdoa kan? Bukankah begitu?"
"Mungkin...."
sahutnya ragu, namun sinar matanya yang semula redup, mulai menampakkan
sinar. Saya gembira. Berarti ia mau menerima jawaban yang saya berikan
itu.
"Ya
sudah ya? Kita lanjut lagi kapan-kapan ya? Sementara tak selesaikan
kerjaan dulu," kata saya mencoba menutup perbincangan. Khawatir juga
bakal berkepanjangan. Lagipula apa yang saya utarakan perlu ia cerna
dalam hayati dulu sebelum menuju yang lain-lainnya.
Tetapi
satu hal penting yang saya catat dari anak ini, bahwa anak zaman
sekarang makin tua saja cara berpikirnya. Saya tidak tahu apa
penyebabnya.
Boleh
jadi, makin mudahnya memperoleh bahan bacaan, menonton televisi dan
teknologi, telah banyak menggeser cara berpikir mereka. Benarkah? Entahlah. Boleh jadi. Tetapi yang pasti, sebagai orang tua, kita
juga perlu selalu up date informasi, terutama seperti apa lingkungan
anak bergaul, apa yang ia baca-tonton dan apa saja yang ia idolakan. []
Tulis Komentar:
0 komentar: