foto/istimewa |
Sukarno adalah legenda Indonesia. Banyak pihak menudingnya begini dan begini. Dan secara jujur, Sukarno mengakui bahwa ia adalah sosok yang egois dan angkuh. Ia bisa marah dan bahkan bisa tersinggung oleh kritikan!
... Tentu
aku juga ingin disenangi orang. Aku punya ego, itu kuakui. Tapi tak
seorang pun tanpa ego mampu menyatuhkan 10.000 pulau-pulau menjadi satu
kebangsaan. Dan aku angkuh, siapa pula yang tidak angkuh? Bukankah
setiap orang yang membaca buku ini ingin mendapat pujian? ...
Luar
biasa. Rupanya begitu. Untuk menjadi sosok yang hebat, tangguh, dan
kuat, maka ia harus memiliki ego. Ego untuk mewujudkan sebuah tekad.
Sebuah impian besar. Hanya dengan egolah seseorang sanggup menyapu badai. Meretakkan rasa takut, dan menghacurkan rasa pesimis. Dan sang Bung telah membuktikannya!
Dia
mengakui sisi kemanusiawiannya. Ia sama dengan manusia-manusia yang
lainnya. Yang membedakan adalah egonya. Ego untuk menang. Ego untuk
menapak jalan berat nan berliku demi sebuah cita-cita besar! Ya untuk
berhasil, memang memerlukan cukup keangkuhan bung!
Bung
Karno, terima kasih. Rupa-rupanya, tiada salah bagiku merasakan minder,
rasa takut, rasa cemar dan rasa khawatir di dalam dadaku ini. Ya, ini
merupakan sifat-sifat yang alamiah belaka. Mungkin aku kurang egois atas
diriku sendiri. Kurang angkuh atas diriku sendiri. Aku harus egois.
Harus angkuh. Angkuh bahwa sesungguhnya aku ini bisa. Aku ini harus
mampu meretakkan semua ketakutan-ketakutan dan rasa lemahku sendiri.
Aku harus egois. Aku harus tetap maju ke baris terdepan cita-cita. Betapapun halang dan rintang menghadang. Aku harus angkuh, betapapun rasa takut senantiasa garang di atas kepala. Siap bung!
... Aku tidak tidur selama 6 tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam aku menelpon seseorang yang dekat denganku. Subadrio misalnya, Wakil Perdana Menteri satu. Aku berkata padanya, `Bandrio, datanglah ke tempatku saja. Temanilah aku. Ceritakanlah padaku, sesuatu yang ganjil, ceritakanlah padaku suatu lelucon. Berceritalah apa saja, asal jangan mengenai politik. Dan kalau saja aku tertidur, maafkanlah! ...
Oh, Bung. Kau rupanya juga susah terlelap. Begitu pun diriku Bung. Sering diriku tak tidur-tidur di waktu malam-malam. Mata ini seperti musuh dalam selimut. Tetapi Bung, rupa-rupanya egoisku tak serupa dirimu. Sampai-sampai aku tak memiliki sahabat yang mau berbagi energi.
Kutelpon
salah seorang sahabat, mereka menyahut, “Kau jangan kekanak-kanakan
begitu!” Yang lain mengekor, “Maaf, aku banyak kesibukan!” alternatif
sahabat juga menyambut dg tangan tertutup, “Mikirin diri sendiri saja
sudah susah, apalagi memikirkan orang lain. Pikir sendiri sana!”
.... Namun tak setiap orang setuju dengan gambaran diri Sukarno. Tak semua orang menyadari, bahwa jalan untuk mendekatiku adalah semata-mata karena hati yang ikhlas. Tak semua orang menyadari, bahwa aku ini tak ubahnya anak kecil. Berilah aku sebuah pisang, dengan sedikit simpati yang keluar dari lubuk hatimu. Tentu, aku akan mencintaimu selama-lamanya. Akan tetapi, berilah aku seribu dolar, dan di saat itu pula engkau tampar mukaku di muka umum. Maka, sekalipun ini nyawa tantangannya aku akan berkata padamu, persetan! ...
Waduh Bung. Dengan sedikit uang, aku bisa mengabaikan persahabatan dan persaudaraanku. Mungkin aku memang perlu ditampar. Agar aku menyadari pentingnya persahabatan dan persaudaraan. Pentingnya nilai-nilai kemanusiaan. Maka, karena itulah mungkin hati ini, perasaan ini, batin ini, pikiran ini, tak juga bersenggama dengan kemerdekaan dan kesatuan?
Bung, kini kami tak memiliki himpunan harga diri. Bagi kami, ego adalah kemaksiatan dan barang yang memalukan. Kami makin tak mengakui diri sendiri. Kami makin melemahkan diri sendiri. Kami makin melupakan lubuk yang berada di dalam. Dan menari-nari di lubuk yang berada di luar.
Bung,
bahkan kami makin tak mahir untuk sekedar marah dan tersinggung,
manakala martabat kami diinjak-injak. Bung, apakah rasa angkuh dan egois
itu memang barang yang halal?
Tulis Komentar:
0 komentar: