Translate

slider

Terbaru

Navigasi

Gus Nizam, si Kembar Suara Gus Dur


Namanya jadi bisik-bisik seantero negeri terkait syiiran tanpo waton, yang kadung melekat dengan sosok Gus Dur sebagai vokalnya. Publik pun dibikin tanda tanya, karena muncul isu bukanlah Gus Dur yang melantunkan. Dalam sebuah acara di Surabaya, Ning Inayah (putri Gus Dur) menegaskan bahwa pihak keluarga Gus Dur sendiri memilih hati-hati untuk menyikapi benar-tidaknya suara di balik vokal syiitan tersebut adalah Gus Dur.  



Sosok yang dikaitkan dengan pemilik suara asli adalah Gus Nizam. Beberapa kali bertemu Gus Nizam dan mendengar suaranya melantunkan syiiran, memang setara dengan yang diperdengarkan di corong-corong masjid. Sama indahnya didengarkan.

Tidak ada sesuatu yang istimewa dari seorang Gus Nizam. Tampilannya juga biasa-biasa saja. Demikian juga dengan caranya berbincang. Sama halnya dengan kebanyakan orang. Sempat juga terpikir, apa sebetulnya yang menjadi daya tarik seorang Gus Nizam bagi jamaahnya. 

Para jamaah yang jumlahnya ribuan tersebut berdatangan dari berbagai daerah, Surabaya, Madura, Probolingga, Pasuruan, Tuban dan sejumlah daerah lainnya ke Pondok Pesantrennya yang jalannya berliku-liku di pelosok Sidoarjo.

Tidak sebagaimana sosok kiai, apalagi kesan sosok mursyid—yang kharismanya langsung terasa dari gaya busana dan gayanya bersikap. Tetapi barangkali memang begitulah sisi khas dari beliau. Muncul nuansa-nuansa yang cukup berbeda dalam cara beliau menyampaikan wejangan di hadapan para peserta pengajian tentang tema-tema tasawuf.

Tema-tema tasawuf yang dikajinya cukup berbeda dari kebanyakan ulasan tasawuf tokoh-tokoh lainnya. Pemaparan esensialitas tasawuf yang seringkali menggunakan term-term atau istilah-istilah yang kelas tinggi, sehingga sulit bagi awam untuk mengikutinya lebih banyak lagi. 

Bisa dikatakan, penekanan Gus Nizam dalam menyampaikan substansi tasawuf lebih terasa kekinian. Ia mengedepankan aspek bahasa menggairahkan yang membangunkan semangat. Misalnya, seperti pembahasan tentang kelas-kelas kesadaran dalam tasawuf, yaitu mulai dari syariat hingga makrifat. 

Gus Nizam menjelaskannya dalam bingkai pemahaman yang sederhana dan mudah dicerna. Ia mengatakan, perbedaan ketiganya adalah tingkat pemahaman dan pengalaman ilahiah. Misalnya, orang yang di tingkatan syariat, ia melakukan kewajiban syariat hanya soal kewajiban dan perintah Tuhan. 

Pada tingkat hakikat, seseorang melaksanakan kewajiban karena ia sudah mengerti maknanya syariat dalam kehidupan manusia. Pada tingkat makrifah, ia tidak lagi hanya soal kewajiban dan makna, tetapi juga karena syariat telah mengantarkannya pada kesadaran ilahiah.  

Sisi lain dari Gus Nizam adalah kemahirannya membuat syiiran. Secara isi, mungkin syiiran tersebut sangat-sangat biasa. Tidak ada yang keren atau berkesan. Masalahnya, begitu syiiran tersebut mulai dilantunkan, nuansa berbeda mulai muncul. 

Dalam hal ini, caranya mengatur intonasi suara membuat yang mendengar merasakan denyut ruhaniah. Mampu mengantarkan pada keterhanyutan ke bilik-bilik kehambaan di hadapan sang Maha.  

“Hadirkan hati. Jika hati Anda semua tidak hadir, syiiran tak memiliki makna. Tidak bisa merasakan kedalamannya,” begitulah yang diucapkan Gus Nizam saat melantunkan syiiran bersama-sama dengan ribuan jamaahnya.

Di sini, barangkali dari sisi inilah kharisma seorang Gus Nizam. Saat sudah berada bersama jamaahnya menyampaikan wejangan tasawuf. Kedalaman penyampaiannya memang kuat. Menimbulkan getar-getar mistis ilahiah tersendiri di gendang-gendang sanubar.  

Satu hal yang sangat berharga dalam beberapa waktu memiliki kesempatan menyimak pengajian-pengajian Gus Nizam. Bahwa hati yang hadir, maka makna yang terkandung di dalam syiitan pun akan ikut hadir membuat khidmat pikiran. Membuat rasa hormat di dalam sanubar atas makna-makna yang terkandung dari apa yang kita baca.

Bagikan
Banner

Mnews.web.id

Tulis Komentar:

0 komentar: