Translate

slider

Terbaru

Navigasi

Laksamana Cheng Hoo, Gus Dur, Bung Karno dan Walisongo; Lampu Terang Di Kesunyian


Laksamana Cheng Hoo bukan hanya milik warga Tionghoa, tetapi sudah menjadi milik semua orang. Mau agamanya Budha, Islam atau yang lainnya

doc-akhbar-kosmo.blogspot.com

Begitulah yang diucapkan oleh Tan Tjian Hwee, Ketua Klenteng Mbah Ratu, Surabaya, saat saya mengunjungi Klenteng yang berada di Jl. Demak 380, Morokrembangan, Krembangan, Surabaya itu.


Ucapan seperti itu mungkin terasa aneh. Bagaimana mungkin seorang tokoh bisa sangat dihormati semua kalangan dari berbeda-beda keyakinan? 

Bahkan sampai hampir tujuh abad lamanya, namanya terus dikenang dan menginspirasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?

Tapi saya jadi ingat sosok Gus Dur dan Bung Karno. Keduanya memiliki pengaruh dan memberi inspirasi banyak orang, bagaimana cara menemukan prinsip terbaik dalam membangun hubungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Bukan hanya terbatas di negerinya sendiri, tapi juga di negeri-negeri luar. Bukan hanya memberi inspirasi pemeluk agamanya sendiri, tapi juga memberi inspirasi bagi pemeluk agama-agama lain.

Sebetulnya, tidak ada hal yang menarik bagi saya tentang sosok Laksamana Cheng Hoo, selain nama itu pernah bikin imajinasi saya melanglang buana ke negeri Tiongkok, setelah membaca nama itu disebut-sebut di buku Babad Tanah Madura. Negeri Tiongkok juga disebut-sebut pernah menyerang Kerajaan Mataram Kuno.

Dua tokoh besar Madura juga diceritakan terlibat perang dengan pasukan Tiongkok, yaitu Pangeran Segoro dan Joko Tole. Pangeran Segoro membantu Kerajaan Mataram mengusir pasukan Tiongkok di era Mataram Kuno, sedang Joko Tole menghadang pasukan Laksamana Cheng Hoo di Selat Madura era Kerajaan Majapahit.

Muncul di benak saya, siapa Laksamana Cheng Hoo, apa yang terjadi sesungguhnya sehingga mereka terlibat perang dengan prajurit Madura? Apakah sama dengan era Pangeran Segoro? Di mana Negeri Tiongkok ingin menguasai Jawa?

Masjid Cheng Hoo

Ingatan saya soal Laksamana Cheng Hoo kembali terputar saat berada di Kota Surabaya. Tepatnya, saat mengenal Masjid Cheng Hoo dan beberapa kali ngobrol dengan sejumlah pengurusnya. Aura yang bertolak belakang saya rasakan. 

Jauh dari yang sempat saya perkirakan, Laksamana Cheng Hoo justru menunjukkan sosok yang memiliki perhatian yang kuat atas masalah-masalah kemanusiaan. Alih-alih hobi perang, ia sosok yang anti perang.

Masjid Cheng Hoo Malam Hari


Di sejumlah tempat yang ia singgahi di Nusantara, nyatanya ia malah meninggalkan jejak-jejak spirit dan nilai toleransi, gotong-royong dan penghargaan yang tinggi di tempat-tempat tersebut. Hampir seluruh masyarakat yang pernah ia datangi, mengenangnya dengan penghormatan yang tinggi.

Pada Indonesia masa kini, selain keberadaannya yang mampu memberi inspirasi indahnya hidup damai dan penuh tenggang rasa sampai saat ini, Laksamana Cheng Hoo selalu menjadi ikon persahabatan Indonesia-Tiongkok.

Di Masjid Cheng Hoo, spirit Laksamana Cheng Hoo tampak dari spirit masjid tersebut, yang tidak mengkhususkan diri pada satu golongan, termasuk aliran dalam Islam. Semua muslim dari beragam aliran bisa ikut menikmati sensasi beribadah di sana.

Menariknya, keberadaan Masjid Cheng Hoo kini tidak hanya didirikan di Kota Surabaya. Kini Masjid Cheng Hoo sudah berdiri di 13 tempat di tanah air.

Cinta yang Ilahiah

Saya pikir, baik Bung Karno, Gus Dur maupun Laksamana Cheng Hoo, telah berhasil meraih puncak kesadaran puncak spirit spritualitas keislaman. Yakni, spirit menjadi rahmat bagi seluruh alam. 

Bukan hanya bagi kaum muslim, sesama manusia, tetapi semua makhluk, pohon, binatang dan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya.

Ya. Cinta sejatinya untuk semua hal. Seorang hamba yang telah memperoleh tetesan cintaNya, maka tetesan cinta itu akan membuatnya jatuh cinta pada semua hal yang telah dikaryakanNya di dalam lukis kehidupan. Membuatnya tidak memiliki barang secuilpun untuk membenci apapun. Tidak peduli apa etnis, suku-bangsa, maupun agamanya.

Pada pada titik tertentu, saya juga lantas teringat para ulama dalam barisan Walisongo. Mungkin di situlah, rahasia keberhasilan dakwah mereka. Kesadaran saya lantas tergiring lagi ke batas perjalanan, Kanjeng Nabi Muhammad Saw. 

Saya tambah mengerti alasan, kenapa beliau hanya butuh puluhan tahun mengubah peradaban tanah Arab era Peradaban Jahiliyahnya. Wallahu a'lam.

 
Bagikan
Banner

Mnews.web.id

Tulis Komentar:

0 komentar: