Laksamana Cheng Hoo bukan hanya milik warga Tionghoa, tetapi sudah menjadi milik semua orang. Mau agamanya Budha, Islam atau yang lainnya
Begitulah yang diucapkan oleh Tan Tjian Hwee, Ketua Klenteng Mbah Ratu, Surabaya, saat saya mengunjungi Klenteng yang berada di Jl. Demak 380, Morokrembangan, Krembangan, Surabaya itu.
Ucapan
seperti itu mungkin terasa aneh. Bagaimana mungkin seorang tokoh bisa
sangat dihormati semua kalangan dari berbeda-beda keyakinan?
Bahkan
sampai hampir tujuh abad lamanya, namanya terus dikenang dan
menginspirasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?
Tapi saya jadi ingat sosok Gus Dur dan Bung Karno. Keduanya memiliki pengaruh dan memberi inspirasi banyak orang, bagaimana cara menemukan prinsip terbaik dalam membangun hubungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bukan
hanya terbatas di negerinya sendiri, tapi juga di negeri-negeri luar.
Bukan hanya memberi inspirasi pemeluk agamanya sendiri, tapi juga
memberi inspirasi bagi pemeluk agama-agama lain.
Sebetulnya,
tidak ada hal yang menarik bagi saya tentang sosok Laksamana Cheng Hoo,
selain nama itu pernah bikin imajinasi saya melanglang buana ke negeri
Tiongkok, setelah membaca nama itu disebut-sebut di buku Babad Tanah
Madura. Negeri Tiongkok juga disebut-sebut pernah menyerang Kerajaan
Mataram Kuno.
Dua
tokoh besar Madura juga diceritakan terlibat perang dengan pasukan
Tiongkok, yaitu Pangeran Segoro dan Joko Tole. Pangeran Segoro membantu
Kerajaan Mataram mengusir pasukan Tiongkok di era Mataram Kuno, sedang
Joko Tole menghadang pasukan Laksamana Cheng Hoo di Selat Madura era
Kerajaan Majapahit.
Muncul di
benak saya, siapa Laksamana Cheng Hoo, apa yang terjadi sesungguhnya
sehingga mereka terlibat perang dengan prajurit Madura? Apakah sama
dengan era Pangeran Segoro? Di mana Negeri Tiongkok ingin menguasai
Jawa?
Masjid Cheng Hoo
Ingatan
saya soal Laksamana Cheng Hoo kembali terputar saat berada di Kota
Surabaya. Tepatnya, saat mengenal Masjid Cheng Hoo dan beberapa kali
ngobrol dengan sejumlah pengurusnya. Aura yang bertolak belakang saya
rasakan.
Jauh dari
yang sempat saya perkirakan, Laksamana Cheng Hoo justru menunjukkan
sosok yang memiliki perhatian yang kuat atas masalah-masalah
kemanusiaan. Alih-alih hobi perang, ia sosok yang anti perang.
Masjid Cheng Hoo Malam Hari |
Di
sejumlah tempat yang ia singgahi di Nusantara, nyatanya ia malah
meninggalkan jejak-jejak spirit dan nilai toleransi, gotong-royong dan
penghargaan yang tinggi di tempat-tempat tersebut. Hampir seluruh
masyarakat yang pernah ia datangi, mengenangnya dengan penghormatan yang
tinggi.
Pada
Indonesia masa kini, selain keberadaannya yang mampu memberi inspirasi
indahnya hidup damai dan penuh tenggang rasa sampai saat ini, Laksamana
Cheng Hoo selalu menjadi ikon persahabatan Indonesia-Tiongkok.
Di
Masjid Cheng Hoo, spirit Laksamana Cheng Hoo tampak dari spirit masjid
tersebut, yang tidak mengkhususkan diri pada satu golongan, termasuk
aliran dalam Islam. Semua muslim dari beragam aliran bisa ikut menikmati
sensasi beribadah di sana.
Menariknya,
keberadaan Masjid Cheng Hoo kini tidak hanya didirikan di Kota
Surabaya. Kini Masjid Cheng Hoo sudah berdiri di 13 tempat di tanah air.
Cinta yang Ilahiah
Saya
pikir, baik Bung Karno, Gus Dur maupun Laksamana Cheng Hoo, telah
berhasil meraih puncak kesadaran puncak spirit spritualitas keislaman.
Yakni, spirit menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Bukan hanya bagi kaum muslim, sesama manusia, tetapi semua makhluk, pohon, binatang dan makhluk-makhluk ciptaan Tuhan lainnya.
Ya.
Cinta sejatinya untuk semua hal. Seorang hamba yang telah memperoleh
tetesan cintaNya, maka tetesan cinta itu akan membuatnya jatuh cinta
pada semua hal yang telah dikaryakanNya di dalam lukis kehidupan.
Membuatnya tidak memiliki barang secuilpun untuk membenci apapun. Tidak
peduli apa etnis, suku-bangsa, maupun agamanya.
Pada
pada titik tertentu, saya juga lantas teringat para ulama dalam barisan
Walisongo. Mungkin di situlah, rahasia keberhasilan dakwah mereka.
Kesadaran saya lantas tergiring lagi ke batas perjalanan, Kanjeng Nabi
Muhammad Saw.
Saya
tambah mengerti alasan, kenapa beliau hanya butuh puluhan tahun mengubah
peradaban tanah Arab era Peradaban Jahiliyahnya. Wallahu a'lam.
Tulis Komentar:
0 komentar: