Translate

slider

Terbaru

Navigasi

Mati (tidak) Dalam Kebenaran

Refleksi Kematian Murid Ajisaka


Demi menjaga dan melaksanakan amanah guru, dua murid Aji Saka terpaksa 
harus bertarung satu sama lain. Babak finalnya, keduanya sama-sama tewas. 
Mati dalam (membela) kebenaran.

foto | istimewa

Legenda Aji Saka cukup populer di tanah Jawa. Bukan hanya di tanah Jawa, juga termasuk di Madura. Kisahnya masih punya kelindan dengan kisah lain di Madura yang berkenaan dengan orang pertama yang menghuni pulau garam, yaitu Pangeran Segoro.

Aji Saka sebagaima diketahui, dikenang sebagai pencipta aksara Jawa hanacaraka.  Dalam hal ini, dia memiliki  dua murid kepercayaan, yaitu Dura dan Sembadra. Suatu waktu, saat akan pergi berperang melawan Dewata Cengkar, Aji Saka menugaskan Dura untuk menjaga kitab Sarutama. "Siapa pun tidak boleh mengambil pusaka ini, kecuali aku sendiri," demikian pesan Aji Saka sebelum pergi ke medan perang bersama Sembadra.

Singkat cerita, di medan perang, Aji Saka mendapat kesulitan. Karena itu, ia membutuhkan kitab Sarutama. Ia memerintahkan Sembadra kembali ke kerajaan untuk mengambilnya kitab tersebut dari Dura. Namun setelah sampai di kerajaan, demi menjaga amanah agar kitab tersebut hanya boleh diserahkan kepada sang guru, permintaan Sembadra terpaksa ditolak oleh Dura.  Sembadra tetap ngotot karena itu benar-benar titah guru mereka.

Demi menjaga amanah dan titah guru, keduanya pun bersitegang. Bertarung hingga keduanya sama-sama tewas.

Peristiwa dua murid Aji Saka ini sangat menarik. Keduanya sama-sama murid kepercayaan Aji Saka, namun malah terlibat dalam salah paham yang mengakibatkan keduanya harus meregang nyawa. Mati demi memegang kebenaran masing-masing. Dengan kata lain, mereka bertarung bukan sebab ada unsur dendam kesumat. Akan tetapi, demi menjaga amanah dan kebenaran.

Sekilas memang tidak ada yang salah pada diri mereka. Sekalipun begitu, barangkali keduanya memang tidak ada yang salah. Masing-masing berusaha menjaga amanah dan tanggung jawab yang diberikan sang guru. Masalah baru muncul, ketika masing-masing pihak menolak adanya pintu dialog, sehingga tetap tertutuplah kotak pandora yang menyelubungi pesan sang guru.

Rasa takut berlebihan akan adanya udang di balik batu, menjadikan keduanya memilih bentrok fisik, ketimbang memberi waktu sekedar mengatur napas untuk menemukan simpul-simpul adanya sisi lain di antara mereka.

Mati jadi Abu

Enggan untuk sedikit menengok adanya kemungkinan kebenaran pada pihak lain. Merasa hanya dirinyalah yang paling dipercaya dan dipasrahi memegang tanggung jawab atau amanah, mungkin inilah pesan relevan dari kisah Aji Saka untuk saat ini. Lebih-lebih, belakangan terakhir sering terjadi perang adu 'kebenaran', terutama perang kampanye yang berlangsung di media-media sosial (medsos).

Kebenaran yang dimaksud di sini adalah kebenaran relatif, tetapi bersikeras terus dipertahankan, dengan tujuan agar semua orang mau mengakuinya secara mutlak. Dimulai sejak Pemilihan Presiden (Pilplres) 2014 misalnya, energi besar bangsa ini harus terkuras habis, demi mengurusi munculnya dua kubu yang sama-sama cadas. Sama-berkelakuan ngotot demi membela apa yang disebut dengan kebenaran tentang siapa sosok pemimpin yang terbaik. Melalui sarana medsos, perang terbuka pun meledak.

Sekiranya kampanye masif tersebut hanya fokus pada keunggulan masing-masing tokoh, tentu tidak ada masalah. Tetapi yang terjadi adalah proses saling mengunggul-unggulkan jagoannya sendiri, di sisi lain sembari menjatuhkan jagoan lawan hingga ke titik paling nadir. Demi sang pilihan, mereka tidak lagi peduli baik-buruk. Sebab kebaikan hanya ada pada pilihannya, sedang keburukan seluruhnya hanya ada pada lawannya.

Mirisnya, pertarungan membela mati-matian sang jagoan, dan menjatuhkan lawan yang sama-sama mati-matiannya terebut, awet berjelaga hingga Pilpres usai dan terus lestari sampai empat tahun berlalu. Bahkan merambat pada masalah-masalah lain yang sebetulnya terkadang tidak ada kaitannya dengan dunia politik. Walaupun 'kebenaran' yang terus ngotot dipertahankan tersebut, tidak sama dengan kebenaran yang dipertahankan oleh dua murid Aji Saka. Mereka mempertahankan 'kebenaran" yang masih masih perlu dipertanyakan.

Terlepas dari itu, sebagaimana hasil pertarungan dua murid Ajisaka, jika saja sikap cadas membela habis-habisan jagoan sendiri, sambil lalu berusaha keras untuk mematikan pihak lawan ini terus dikembangbiakkan, maka hasil akhirnya sudah bisa ditebak. Dua-duanya akan sama hancur. Ibarat pepatah, menang jadi abu kalah pun tetap jadi abu.

Masalahnya, yang hancur bukan hanya mereka belaka, tetapi yang hancur juga bangsa ini. []

Bagikan
Banner

Mnews.web.id

Tulis Komentar:

0 komentar: