Translate

slider

Terbaru

Navigasi

Matinya Ke Lesap: ‘Tokoh Anti Belanda yang Dituding Anak Durhaka’

Bengka la’n! Bengka la’n! Bengka la’n!

Sorak-sorai para prajurit kerajaan Bangkalan dan Kompeni. Menggema gembira di se-antero halaman keraton Bangkalan. Ke Lesap, si anak durhaka yang telah berani membangkang atas orang tuanya itu, akhirnya tumpas. Tubuhnya rubuh di tanah. Terhunus pusaka tombak Kiai Nenggolo yang ditancapkan oleh Cakraningrat, ayahnya sendiri.

peralatan perang peninggalan Dinasti Cakraningrat | koleksi ihategreenjello.com

Maka, berakhirlah pemberontakan besar yang telah dikobarkan oleh Ke Lesap ke seluruh penjuru kekuasaan di Madura. 


Ke Lesap dan pasukannya hampir saja menguasai seluruh Madura, setelah Sumenep dan Pamekasan luluh-lantak dibuatnya. Tinggallah Bangkalan sebagai pertahanan terakhir di Madura. Kalau tak karena siasat licin Cakraningrat, hampir saja ikutan hancur dilibas Ke Lesap dan pasukannya. Karena bahkan, bala bantuan pasukan kompeni yang didatangkan dari Surabaya pun berantakan, tak sanggup membendung serangan Ke Lesap.    

Betapa kuatnya Ke Lesap dan pasukannya sehingga susah dikalahkan, terungkap dari ucapan histeria bengkah begitu ia terbunuh. Ucapan bengkah memang memiliki arti ia telah mati. Tetapi sebetulnya lebih sekedar telah mati. Kematian dalam konteks bengkah, mengandung makna emosional tumpas, hancur, tak tersisa atau musnah. Dalam peristiwa kematian Ke Lesap, demikianlah ucapan makna bengkah bisa ditempatkan. 

Ungkapan bengkah menjelaskan kematian dan kekalahan tokoh Ke Lesap yang diperoleh dengan ‘sangat’ susah dan sangat payah karena ia tak kalah-kalah.

Tetapi ucapan bengkah tak hanya mengungkapkan rasa kegembiraan atas matinya Ke Lesap, ucapan tersebut juga mewakili tumpahan kemarahan orang-orang keraton atas tindak-tanduk Ke Lesap. Sebab ia telah berlaku durhaka, berani membangkang dan bahkan ingin menghancurkan ayahnya sendiri. 

Dalam buku Sejarah Madura, Selayang Pandang  yang ditulis oleh Abdurahman, dikatakan  bahwa Ke Lesap sebetulnya adalah anak Cakraningrat V, dari istri selirnya. Sejak kecil, Lesap tinggal bersama ibunya yang nun jauh dari istana. Sampai ia beranjak dewasa, tak sekalipun ia mengenal siapa ayahnya.

Ketika ibunya memberitahu kalau ayahnya tak lain adalah Cakraningrat, timbullah keinginannya agar dirinya diakui sebagai anak. 

Untuk itu, ia mencoba melakukan aksi-aksi yang mampu memancing perhatian keraton, salah satunya dengan cara menyaru jadi dukun terkenal. Demikianlah, cara tersebut berhasil memancing perhatian Cakraningrat. Melihat adanya perkumpulan banyak orang di satu tempat secara terus-menerus, timbullah kekhawatiran Cakraningrat kelak dapat memunculkan kerusuhan atau bahkan pemberontakan. 

Tetapi setelah mengetahui bahwa yang menimbulkan kerumunan banyak orang itu ternyata adalah anaknya sendiri, Cakraningrat langsung berinisiatif mengajak Lesap tinggal di keraton.    

Memiliki tempat tinggal mewah dan segalanya tersedia, Lesap justru merasa gelisah. Sebab sekalipun baginda memberinya tempat tinggal yang sangat-sangat layak, ia menyadari segala gerak-geriknya senantiasa dipantau orang-orang keraton. Lalu timbullah keinginannya menjadi raja seluruh Madura. Maka, Lesap diam-diam minggat. Ia menjadikan Sumenep sebagai lokasi persembunyiannya. 

Konon, ia menghabiskan waktunya di dunia pertapaan di gua Payudan.

Dari pertapaannya, Lesap memperoleh pusaka berupa Calok Kodi’. Pusaka yang sangat istimewa, sebab konon, mampu melayang sendiri untuk menghabisi musuh-musuhnya. 

Berbekal pusaka Calok Kodi, Lesap mulai menghimpun kekuatan. Setelah berhasil menguasai Sumenep dan Pamekasan dalam sekali libas, ia pun menuju keraton Bangkalan. Menaklukan kekuasaan yang notabene dipimpin oleh ayahandanya sendiri. Sebagaimana nasib Pamekasan dan Sumenep, pertahanan Bangkalan pun jebol. Bala bantuan yang didatangkan dari Surabaya ternyata juga tak banyak membantu. Lesap dan pasukannya terlalu kuat.

Di detik-detik yang mencekam dan menegangkan, Cakraningrat memperoleh wangsit bahwa bahwa Lesap dapat dikalahkan dengan cara mempergunakan pusaka keraton, yaitu tombak si Nenggolo, serta melunturkan kesaktiannya dengan seorang perempuan. Maka dikirimlah perempuan dengan membawa bendera putih sebagai tanda menyerah pada Ke Lesap. Melihat Bangkalan menyerah, Ke Lesap lantas membawa perempuan tersebut sehingga tak sadar telah luntur kesaktiannya. 

Benar saja, esok harinya pasukan Ke Lesap bisa dengan mudah dipatahkan. Pusaka Calo Kodi pegangannya tak banyak membantunya. Ia pun rebah di bawah tikaman tombak Nenggolo. []





Bagikan
Banner

Mnews.web.id

Tulis Komentar:

0 komentar: