Ketika
dirimu mulai lelah, dan berputus asa menyimak kelakuan para
pemimpinmu, lantas pikiranmu menyelami ruang-ruang tak terlihat yang
terbenam di dalam pikiran. Muncullah nama Tuhan di sana. Berkibar di
ubun-ubun. Lantas kau taruh di akal-pikirmu setelah itu sebuah nama? Satrio Piningit? Kaukah itu?
Beberapa
nama-nama tokoh muncul. Timbul-tenggelam. Oh, di manakah gerangan
sosok-sosok pemimpin yang benar dan dapat membuat jalan kehidupan bangsa ini bergerak pada rel yang tepat? Sosok pemimpin yang dapat mengayomimu,
melindungimu dan siap menjadi benteng atas segenap kegelisahan masa
depanmu, juga masa depan anak-anak cucumu kelak di masa-masa mendatang?
Kau
lantas mengaduh, mengelak, pun menghindar pada semua pertanyaan.
Setelah semua tokoh yang kau kira sang Pemimpin masa depan, buyar
setelah melihat dan menyimak keburukan-keburukannya. Kau lantas
memakinya. Kau lantas memarahinya.
Kau juga lantas memburuk-burukkannya
sedemikian rupa di dalam alam pikiranmu.
Alur pikiranmu kemudian membayangkan adanya sebuah keajaiban. Tuhan tiba-tiba
mengirimkan kepada negeri antah-berantahmu mengenai sosok-sosok
tersembunyi. Ia muncul dadakan di hadapanmu dan membuat perubahan
drastis. Seketika mengubah keadaan buruk menjadi keadaan yang serba
baik.
Itulah
asal-usul pikiranmu tentang para pemimpin. Kau senantiasa berujar dan
berakhir pada keajaiban yang menghadirkan keadaan drastis. Kau
melupakan, telah berapa banyak pemimpin berkelas dihadirkan oleh Tuhan
khusus untukmu.
Yang mana kelakuanmu adalah lantas memuja-mujanya
sebagai manusia sekelas dewa. Lantas
di kemudian hari, kau tempatkan dia pada kelas paling nadir. Kau
olok-olok dia sebagai pemimpin tak berguna.
Hanya gara-gara setelah
beberapa waktu ia memimpin, kau menyaksikan sedikit sisi buruk atau sisi
ketidaksempurnaan darinya.
Kau mencaci-makinya sedemikian rupa setelah
itu. Seakan-akan di dalam dirinya tak ada sedikit pun kebaikan yang
tersimpan. Kau
buang dia dari ruang pikirmu dari pemimpin yang terbaik, setelah
sebelumnya kau tempatkan dia di dalam ruang-ruang pikiran terbaikmu.
Pikiranmu tak mau menerimanya ulang setelah sedikit sisi kemanusiaannya
yang juga tak sempurna tampil ke permukaan.
Barangkali
kau memang perlu dipertemukan dengan leluhurmu yang terdahulu.
Oh, apa
kau mulai mengingat-ingat tentang sang Semar? Tampil di dalam layar
pikiran-pikiranmu? Lihatlah, beliau sedang duduk di atas sebuah batu
besar yang sebesar bus kota. Apa kau ingin menanyakan sesuatu padanya
tentang beberapa hal? Beberapa hal yang amat penting? Sang Satrio
Piningit?
“Pemimpin
terbaik bagimu, sesungguhnya adalah dia yang tertawa bukan hanya
karena mendengar dan mencium bau kentutnya sendiri, tetapi adalah dia
yang juga tertawa panjang karena mendengar dan mencium bau kentutmu
yang kadang tak sengaja lepas dan membuatmu tersipu malu le... “
Oh,
Mbah Semar ternyata langsung menyahut obrolan imajiner ini. Kau tahu,
perutnya kembung menahan gelegak tawa yang panjang dan tak berirama.
Dia berdiri. Dan, tertawa lagi. Sekali lagi. Dan sekali lagi. Dan
berkali-kali.
“Dan
ia tak marah oleh kentutmu yang tak sengaja lepas itu, karena ia
sendiri tahu bagaimana rasanya malu. Malu karena ia pun pernah kentut
secara tak sengaja. Membuat semua orang terdiam, dan mencibirnya
pergi...”
“Apakah berarti ciri-ciri Satrio Piningit itu adalah kentutnya Mbah?” tanyaku kemudian. “Oh,
kau tanya soal si Satrio Piningit Le?” Ia menyahut. Aku cepat-cepat mengangguk.
Mbah Semar mendadak tertegun. Beberapa lama tiba-tiba memilih terdiam.
“Satrio
Piningit? Sosok kesatria. Kesatria untuk mengakui kelemahan dan
kehambaan dirinya di hadapan Tuhannya. Yang karena kesadaran akan
kehambaannya dan juga kehambaanmu, dia lantas memingit hatinya dari
urusan-urusan dunia..”
“Wow, apakah berarti dia seorang pertapa Mbah?”
Mbah Semar menggeleng.
“Tapi
bisa juga begitu. Tapi pertapaannya bukanlah di dalam goa-goa sepi di
puncak gunung, tetapi pertapaannya adalah di dalam goa-goa kehidupan
yang kadang suka berisik. Lebih berisik dari permukaan samudra... “
“Jika
saja ciri-cirinya adalah ia memingit hatinya dari urusan-urusan
duniawi, apakah ia berarti adalah sosok yang tak suka dunia? Atau
jangan-jangan, dia adalah sosok sufi?” mbah Semar lagi-lagi menggeleng
dengan jelasnya.
“Tetapi
bisa saja seperti itu Le. Tetapi, ia bukannya menjauhi urusan-urusan
dunia. Tetapi dunia sudah lagi tak mempengaruhi kepentingan dan niat
suci di dalam hatinya untuk membantumu terangkat dari sumber-sumber
kegelapan...”
Aku
tertegun. Sebab, sepertinya kami tak memiliki para pemimpin yang super
pertapa macam itu. Sampai-sampai tak berkenan menempatkan dunia di
dalam hatinya, dan hanya mau menempatkan amal kebaikan bagi semua
orang.
Ha ha ha ha ha...
Tiba-tiba Mbah Semar terbahak-bahak. Lalu kudengar ia kentut.
“Sudah
kubilang, ia amat menghargai kentut Le. Kentutnya dan kentutmu
sendiri. Karena ia pernah mengalami kentut secara tak sengaja, dan ia
amat malu karenanya. Sampai-sampai ia memarahi diri sendiri. Sebab,
semua orang menjadi terpaksa tutup hidung karenanya. Ia habis makan
jengkol tiga porsi sebelumnya. Makanya, baunya amat-amat, ha ha ha ha.”
Kentut.
Ya Semar terkenal karena soal kentut. Dan kita seringkali berisik
karena soal kentut. Padahal kita sendiri terkadang suka kentut secara
tak sengaja. Seorang pemimpin yang baik adalah yang menghargai kentut.
Dari kentut ia kemudian belajar pentingnya memiliki Sabda Pandhita Ratu.
Sebab,
ia menyadari bahwa semua orang memiliki kentut, dan terkadang suka
secara tak sengaja tiba-tiba kentut itu lepas, justru ketika sedang
berada di kumpulan banyak orang. Dan hanya dengan Sabda Pandhita Ratu
sajalah orang-orang tak masalah dengan beberapa kentut yang tak sengaja
ia lepas.
Ingin kutanya pada Gus Dur, tetapi barangkali ia akan
menjawab, “Ah, ngapain nanya-nanya soal Satrio Piningit? Gitu Aja kok
Repot!”
Tetapi memang demikianlah.
Lebih baik kita melucu, ketimbang terlalu sibuk mikirin soal siapa
tentang sang Satrio Piningit. Karena pemimpin terbaik adalah pemimpin
yang kita pilih sendiri. Pilihan antara Sabda dalam hati dan Sabda dalam
hawa nafsu? Nafsu kemaruk?
Tulis Komentar:
0 komentar: