Translate

slider

Terbaru

Navigasi

Satrio Piningit, Kaukah Itu?

Ketika dirimu mulai lelah, dan berputus asa menyimak kelakuan para pemimpinmu, lantas pikiranmu menyelami ruang-ruang tak terlihat yang terbenam di dalam pikiran. Muncullah nama Tuhan di sana. Berkibar di ubun-ubun. Lantas kau taruh di akal-pikirmu setelah itu sebuah nama? Satrio Piningit? Kaukah itu?

  

Beberapa nama-nama tokoh muncul. Timbul-tenggelam. Oh, di manakah gerangan sosok-sosok pemimpin yang benar dan dapat membuat jalan kehidupan bangsa ini   bergerak pada rel yang tepat? Sosok pemimpin yang dapat mengayomimu, melindungimu dan siap menjadi benteng atas segenap kegelisahan masa depanmu, juga masa depan anak-anak cucumu kelak di masa-masa mendatang?

Kau lantas mengaduh, mengelak, pun menghindar pada semua pertanyaan. Setelah semua tokoh yang kau kira sang Pemimpin masa depan, buyar setelah melihat dan menyimak keburukan-keburukannya. Kau lantas memakinya. Kau lantas memarahinya. 

Kau juga lantas memburuk-burukkannya sedemikian rupa di dalam alam pikiranmu.

Alur pikiranmu kemudian membayangkan adanya sebuah keajaiban. Tuhan tiba-tiba mengirimkan kepada negeri antah-berantahmu mengenai sosok-sosok tersembunyi. Ia muncul dadakan di hadapanmu dan membuat perubahan drastis. Seketika mengubah keadaan buruk menjadi keadaan yang serba baik.

Itulah asal-usul pikiranmu tentang para pemimpin. Kau senantiasa berujar dan berakhir pada keajaiban yang menghadirkan keadaan drastis. Kau melupakan, telah berapa banyak pemimpin berkelas dihadirkan oleh Tuhan khusus untukmu. 

Yang mana kelakuanmu adalah lantas memuja-mujanya sebagai manusia sekelas dewa. Lantas di kemudian hari, kau tempatkan dia pada kelas paling nadir. Kau olok-olok dia sebagai pemimpin tak berguna. 

Hanya gara-gara setelah beberapa waktu ia memimpin, kau menyaksikan sedikit sisi buruk atau sisi ketidaksempurnaan darinya. 

Kau mencaci-makinya sedemikian rupa setelah itu. Seakan-akan di dalam dirinya tak ada sedikit pun kebaikan yang tersimpan. Kau buang dia dari ruang pikirmu dari pemimpin yang terbaik, setelah sebelumnya kau tempatkan dia di dalam ruang-ruang pikiran terbaikmu. Pikiranmu tak mau menerimanya ulang setelah sedikit sisi kemanusiaannya yang juga tak sempurna tampil ke permukaan.

Barangkali kau memang perlu dipertemukan dengan leluhurmu yang terdahulu. 

Oh, apa kau mulai mengingat-ingat tentang sang Semar? Tampil di dalam layar pikiran-pikiranmu? Lihatlah, beliau sedang duduk di atas sebuah batu besar yang sebesar bus kota. Apa kau ingin menanyakan sesuatu padanya tentang beberapa hal? Beberapa hal yang amat penting? Sang Satrio Piningit?

“Pemimpin terbaik bagimu, sesungguhnya adalah dia yang tertawa bukan hanya karena mendengar dan mencium bau kentutnya sendiri, tetapi adalah dia yang juga tertawa panjang karena mendengar dan mencium bau kentutmu yang kadang tak sengaja lepas dan membuatmu tersipu malu le... “

Oh, Mbah Semar ternyata langsung menyahut obrolan imajiner ini. Kau tahu, perutnya kembung menahan gelegak tawa yang panjang dan tak berirama. Dia berdiri. Dan, tertawa lagi. Sekali lagi. Dan sekali lagi. Dan berkali-kali.

“Dan ia tak marah oleh kentutmu yang tak sengaja lepas itu, karena ia sendiri tahu bagaimana rasanya malu. Malu karena ia pun pernah kentut secara tak sengaja. Membuat semua orang terdiam, dan mencibirnya pergi...”

“Apakah berarti ciri-ciri Satrio Piningit itu adalah kentutnya Mbah?” tanyaku kemudian.  “Oh, kau tanya soal si Satrio Piningit Le?” Ia menyahut. Aku cepat-cepat mengangguk. Mbah Semar mendadak tertegun. Beberapa lama tiba-tiba memilih terdiam.

“Satrio Piningit? Sosok kesatria. Kesatria untuk mengakui kelemahan dan kehambaan dirinya di hadapan Tuhannya. Yang karena kesadaran akan kehambaannya dan juga kehambaanmu, dia lantas memingit hatinya dari urusan-urusan dunia..”

“Wow, apakah berarti dia seorang pertapa Mbah?”
Mbah Semar menggeleng.

“Tapi bisa juga begitu. Tapi pertapaannya bukanlah di dalam goa-goa sepi di puncak gunung, tetapi pertapaannya adalah di dalam goa-goa kehidupan yang kadang suka berisik. Lebih berisik dari permukaan samudra... “

“Jika saja ciri-cirinya adalah ia memingit hatinya dari urusan-urusan duniawi, apakah ia berarti adalah sosok yang tak suka dunia? Atau jangan-jangan, dia adalah sosok sufi?” mbah Semar lagi-lagi menggeleng dengan jelasnya.

“Tetapi bisa saja seperti itu Le. Tetapi, ia bukannya menjauhi urusan-urusan dunia. Tetapi dunia sudah lagi tak mempengaruhi kepentingan dan niat suci di dalam hatinya untuk membantumu terangkat dari sumber-sumber kegelapan...”

Aku tertegun. Sebab, sepertinya kami tak memiliki para pemimpin yang super pertapa macam itu. Sampai-sampai tak berkenan menempatkan dunia di dalam hatinya, dan hanya mau menempatkan amal kebaikan bagi semua orang.

Ha ha ha ha ha...

Tiba-tiba Mbah Semar terbahak-bahak. Lalu kudengar ia kentut.

“Sudah kubilang, ia amat menghargai kentut Le. Kentutnya dan kentutmu sendiri. Karena ia pernah mengalami kentut secara tak sengaja, dan ia amat malu karenanya. Sampai-sampai ia memarahi diri sendiri. Sebab, semua orang menjadi terpaksa tutup hidung karenanya. Ia habis makan jengkol tiga porsi sebelumnya. Makanya, baunya amat-amat, ha ha ha ha.”

Kentut. Ya Semar terkenal karena soal kentut. Dan kita seringkali berisik karena soal kentut. Padahal kita sendiri terkadang suka kentut secara tak sengaja. Seorang pemimpin yang baik adalah yang menghargai kentut. Dari kentut ia kemudian belajar pentingnya memiliki Sabda Pandhita Ratu.

Sebab, ia menyadari bahwa semua orang memiliki kentut, dan terkadang suka secara tak sengaja tiba-tiba kentut itu lepas, justru ketika sedang berada di kumpulan banyak orang. Dan hanya dengan Sabda Pandhita Ratu sajalah orang-orang tak masalah dengan beberapa kentut yang tak sengaja ia lepas. 

Ingin kutanya pada Gus Dur, tetapi barangkali ia akan menjawab, “Ah, ngapain nanya-nanya soal Satrio Piningit? Gitu Aja kok Repot!”

Tetapi memang demikianlah. Lebih baik kita melucu, ketimbang terlalu sibuk mikirin soal siapa tentang sang Satrio Piningit. Karena pemimpin terbaik adalah pemimpin yang kita pilih sendiri. Pilihan antara Sabda dalam hati dan Sabda dalam hawa nafsu?  Nafsu kemaruk?







Bagikan
Banner

Mnews.web.id

Tulis Komentar:

0 komentar: