Macan mati meninggalkan
belang, manusia mati meninggalkan nama. Pepatah ini sangat tepat
dialamatkan pada Sunan Ampel. Ia memang sudah wafat 5 abad lampau.
Alih-alih terlupakan, namanya bertambah
harum. Melewati rentang 500 tahun kemudian. Situs makam Sunan Ampel hampir tak jua sepi oleh peziarah.
Sebagai
tokoh terkemuka dan memiliki sumbangsih yang sungguh besar dalam
perkembangan syiar Islam di Nusantara yang masih bisa dirasakan sampai
zaman modern, keberadaan makam Sunan Ampel menjadi daya tarik spiritual
tersendiri bagi umat Islam. Bukan hanya menjadi lokasi dahaga spriritual
dan jejak situs saja, tetapi juga wisata sejarah unik yang melingkupi
keberadaan makam.
Situs Sunan Ampel juga bukan
sekedar situs berupa peninggalan secara fisik, tetapi juga peninggalan
non-fisik, berupa pesan yang sarat nilai-nilai keagamaan dan fakta-fakta
riil keberadaan Sunan Ampel di masa silam. Hal ini bisa ditelusuri
tiang, pintu, maupun gapura. Yang masing-masing memiliki simbol-simbol
keagamaan.
Misalnya adalah tiang-tiang utama yang jumlahnya 16 tiang, panjangnya 17 meter, dengan diameter 60 centi. Selain tiang, juga terdapat 48 pintu. Semuanya terbuat dari bahan kayu jati. Tiang kayu jati menggambarkan tiang agama, sementara panjangnya yang sejumlah 17 meter, menggambarkan 17 rakaat dalam shalat selama sehari.
Karena peran sejarahnya yang amat berharga, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menasbihkan Masjid Sunan Ampel sebagai bagian dari bangunan cagar budaya yang harus dijaga dan dilestarikan. Pemkot juga mengembangkan kawasan situs Sunan Ampel sebagai kawasan wisata religi.
Jumlah Peziarah
Dalam setiap harinya, situs Sunan Ampel tak kunjung sepi dari banyaknya peziarah. Di hari-hari biasa, jumlah peziarah mencapai 1500 peziaraj.
Jumlahnya bisa membludak pada hari-hari khusus, seperti pada moment
haul yang bisa mencapai puluhan ribu peziarah.
Para peziarah tersebut tak hanya berasal dari luar kota Surabaya, seperti Jember, Madura, Jakarta dan daerah-daerah lain di Indonesia, tetapi juga berasal dari mancanegara, seperti Brunei, Malaysia, Singapura hingga Eropa.
Para peziarah tersebut tak hanya berasal dari luar kota Surabaya, seperti Jember, Madura, Jakarta dan daerah-daerah lain di Indonesia, tetapi juga berasal dari mancanegara, seperti Brunei, Malaysia, Singapura hingga Eropa.
"Peziarah dari mancanegara, seperti Malaysia, Brune, Singapura, Timur Tengah dan
Eropa sekitar 10%,” kata KH. M. Azmi Nawawi, di antara takmir bidang
kerohanian.
Sementara
itu dalam hari-hari khusus, seperti moment haul, peziarah melunjak
hingga puluhan ribu peziarah. Situs makam Ampel pun penuh manusia.
Setiap lorong masuk hingga lokasi dalam situs sesak oleh kumpulan
manusia. Bahkan, di area makam pun seakan tak muat oleh banyaknya jumlah
peziarah. Sampai-sampai, pengelola memberi waktu berbeda antara
peziarah perempuan dan peziarah laki-laki.
Dalam catatan bagian keamanan
yang juga merangkap sebagai bagian informasi, Abdul Nazir, peziarah di
hari-hari haul bisa mencapai 60 ribu peziarah. Memang fantastik.
“Makanya hari peziarah dipisah. Pada haul hari pertama, khusus peziarah
perempuan. Kaum laki-laki dilarang, mereka bisa ziarah keesokan
harinya,” kata Nazir.
Berkah Masyarakat
Sunan
Ampel tak hanya memberikan kemanfaatan di kala masih hidup, bahkan saat
sudah wafat selama ratusan tahun sekalipun, ia masih menebar manfaat
bagi umat. Di sekitar situs makam Sunan Ampel, banyak berdiri
orang-orang yang mengail rezeki dengan membangun usaha mandiri.
Lokasi mangkal mereka berada di berbagai titik, mulai dari luar makam, jalan masuk, hingga di dalam lingkungan makam yang dibangun kompleks pedagang. Banyak jenis yang dijadikan prospek bisnis, seperti kerajinan rebana yang unik karena ukurannya yang mungil, pakaian, makanan, parfum, cincin yang dibuat dari kayu hingga kitab kuning.
baca juga
Lokasi mangkal mereka berada di berbagai titik, mulai dari luar makam, jalan masuk, hingga di dalam lingkungan makam yang dibangun kompleks pedagang. Banyak jenis yang dijadikan prospek bisnis, seperti kerajinan rebana yang unik karena ukurannya yang mungil, pakaian, makanan, parfum, cincin yang dibuat dari kayu hingga kitab kuning.
baca juga
Menurut
penuturan salah satu pedagang busana muslim bernama Hasan, dalam
kondisi sepi peziarah, ia masih bisa meraup rezeki sebesar 100 ribu
perhari. Jika peziarah sedang ramai, penghasilannya berlipat ganda
hingga 500 hingga 600 ribu perhari.
”Tergantung kondisinya mas. Kan ada musim-musimnya, musim liburan, haul, dan lain sebagainya,” tutur Hasan. Sisi yang menarik, usaha dagang yang dimiliki Hasan berlangsung sejak dari buyutnya. “Ya jadi ini bisnis warisan buyut mas. Kita tinggal melanjutkan saja,” tambahnya.
”Tergantung kondisinya mas. Kan ada musim-musimnya, musim liburan, haul, dan lain sebagainya,” tutur Hasan. Sisi yang menarik, usaha dagang yang dimiliki Hasan berlangsung sejak dari buyutnya. “Ya jadi ini bisnis warisan buyut mas. Kita tinggal melanjutkan saja,” tambahnya.
Keaslian Situs
Meski
sampai kini kita masih bisa menikmati situs makam Sunan Ampel, namun
yang paling disayangkan adalah dengan adanya beberapa situs yang
mengalami perubahan. Hal ini pun berdampak pada keaslian situs itu
sendiri.
Di sisi lain, keaslian situs sangatlah penting. Bisa saja cerita tentang kisah Sunan Ampel atau ulama Walisongo terus lestari karena terwariskan dari mulut ke mulut. Tetapi jika keaslian situs tidak terjaga, maka akan sulit membuktikan kepada generasi mendatang bahwa warisan tutur-cerita mengenai sang Sunan itu betul-betul pernah ada terjadi di masa silam.
Walhasil, posisi Sunan Ampel seakan berada di antara kisah nyata dan kisah dongeng belaka. Fenomena ini dikemukakan oleh budayawan dan pemerhati Walisongo, yakni Agus Sunyoto. Menurut Agus Sunyoto, salah satu penyebab adanya perubahan situs adalah masyarakat itu sendiri.
"Selama ini, pengelolaan situs makam memang dipegang masyarakat. Mestinya, situs makam dikelola oleh pemerintah sehingga keasliannya tetap terjaga," papar Agus Sunyoto.
Di sisi lain, keaslian situs sangatlah penting. Bisa saja cerita tentang kisah Sunan Ampel atau ulama Walisongo terus lestari karena terwariskan dari mulut ke mulut. Tetapi jika keaslian situs tidak terjaga, maka akan sulit membuktikan kepada generasi mendatang bahwa warisan tutur-cerita mengenai sang Sunan itu betul-betul pernah ada terjadi di masa silam.
Walhasil, posisi Sunan Ampel seakan berada di antara kisah nyata dan kisah dongeng belaka. Fenomena ini dikemukakan oleh budayawan dan pemerhati Walisongo, yakni Agus Sunyoto. Menurut Agus Sunyoto, salah satu penyebab adanya perubahan situs adalah masyarakat itu sendiri.
"Selama ini, pengelolaan situs makam memang dipegang masyarakat. Mestinya, situs makam dikelola oleh pemerintah sehingga keasliannya tetap terjaga," papar Agus Sunyoto.
Dengan dikelola masyarakat, akhirnya banyak perubahan terjadi dari bentuk aslinya “Pada sekitar tahun 1990-an, banyak nisan-nisan kuno yang kemudian diganti dengan nisan baru. Pertanyan lainnya, masih adakah sisa masjid yang benar-benar asli sesuai ketika dibuat pada era Sunan Ampel?” tanya penulis buku Siti Jenar itu prihatin.
Agus Sunyoto juga menyingkat terkait proyek pengembangan wisata di situs Sunan Ampel. Ia
sangat menyayangkan banyak pihak yang hanya mementingkan situs Makam Sunan Ampel semata sebagai objek wisata. Demi mengejar
target pendapatan income, apapun dilakukan. Termasuk pengubahan
situs dari aslinya, dan pemugaran-pemugaran situs demi kepentingan
wisata. Karena itu, ia merasa kurang menyetujui pembangunan proyek, seperti proyek jembatan layang.
“Semua
orang akhirnya cuma berpikir pragmatis. Barangkali sisi keaslian situs
tidak bermasalah bagi para peziarah. Tapi ini kan kita bicara soal
generasi mendatang. Apakah sudah dipikirkan dampak pembangunan jembatang
layang? Apakah itu tidak akan tambah merusak keaslian situs-situs di
sana?” tegas Sunyoto.
Wajar jika persoalan
keaslian situs sangat disesalkan Sunyoto. Sebab, semua gagasan yang
berkaitan dengan renovasi, reformasi, restrukturisasi, dan bahkan
deformasi sebuah situs adalah masalah serius karena berkaitan dengan
eksistensi tempat itu.
“Jika
sudah tidak asli lagi, bagaimana kita meneliti kebenaran fakta
keberadaan para Walisongo? Bagaimana para arkeolog, sejarawan,
antropolog, dan ilmuwan lain dapat menjelaskan keberadaan riil mereka di
masa lalu? Lama-lama, karena sudah tak ada yang asli, keberadaan
Walisongo untuk generasi 25 hingga 50 tahun mendatang dianggap sebatas
mitos dan dongeng masyarakat saja,” sorotnya tajam.
Lebih
lanjut, menurut Sunyoto, adalah bukan sesuatu yang mustahil, di
masa-masa mendatang, akan muncul pertanyaan kritis tentang keberadaan
makam itu sebagai makam Sunan Ampel. “Misalnya, benarkah itu makam Sunan
Ampel yang wafat pada perempat akhir abad ke-15? Kalau memang benar,
orang-orang akan bertanya, apa bukti yang melegalkan kebenaran fakta
riilnya? Tak ada. Karena situsnya sudah tidak ditemukan yang asli,”
katanya.
Karena itu, ia memberikan saran agar pengelola berkordinasi dengan pihak dinas purbakala yang dalam pemeliharaan situs-situs kuno. Makin banyak musnahnya keaslian situs kuno, seperti yang dikhawatirkan Sunyoto memang bukan fakta basa-basi. Sebab, kenyataan paling mutakhir, sudah terdapat upaya beberapa pihak untuk menghapus jejak sejarah perjuangan dakwah Walisongo di tanah air.
Kondisi tersebut bisa diamati dengan hadirnya buku Ensiklopedi Islam yang terdiri dari tujuh jilid, di mana peran dan keberadaan dakwah para wali justru tidak dimasukkan. Ensiklopedi tersebut hanya tercantum kisah tiga serangkai tokoh penyebar Islam tanah air, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piabang. Dengan kata lain, generasi mendatang, hanya akan mengenal ketiga tokoh tersebut sebagai penyebar Islam utama di tanah air.
Kenyataan
tersebut sangat menggiris hati Sunyoto. Penggiringan opini hanya
melalui tiga tokoh serangkai itu, secara otomatis akan menghapus peran
dakwah luar biasa para Walisongo. Dugaan peran para Walisongo kemudian
hanya menjadi mitos dan dongeng semata akan terbukti di masa depan,
karena nihilnya fakta sejarah yang mendukung keberadaan mereka.
Karena
itu, ia kemudian melakukan riset panjang dan mendalam. Ia meneliti
banyak naskah kuno terkait peran dan fakta riil situs Walisongo. Hasil
riset panjangnya tersebut dikumpulkannya dalam karya terbarunya, Atlas Wali Songo. Karya tersebut menjadi karya pertama mengenai keberadaan secara ilmiah mengenai Walisongo di tanah air. []
Tulis Komentar:
0 komentar: