Translate

slider

Terbaru

Navigasi

Dinasti Cakraningrat, Napas Tilas Kerajaan yang Mempersatukan Seluruh Madura

Di masa silam, kepulauan Madura terdiri dari sejumlah kerajaan-kerajaan utama, seperti Sumenep, Pamekasan dan Bangkalan. Tetapi pasca penaklukan Mataram, Sultan Agung mempersatukan seluruh kekuasaan di Madura dalam pemerintahan tunggal yang berpusat di Madura barat

Lokasi pemakaman raja-raja dinasti Cakraningrat, Polagan, Sampang

Tahun 1626. Seluruh Madura banjir darah. Puluhan ribu prajurit Mataram bak banjir bandang. Melakukan penyergapan dadakan skala penuh. Tak berarti apa-apa  perlawanam yang diberikan oleh para penguasa Madura untuk membendung kedatangan pasukan Mataram yang tak sebanding dengan jumlah pasukan yang mereka miliki.

Di Arosbaya, menyadari kekuatan yang mulai sama sekali tak imbang dan pasukan Arosbaya mulai banyak bertumbangan, Pangeran Mas menyelamatkan diri ke Banten. Tetapi Sultan Agung meminta kepada Sultan Banten agar tawanan Mataram itu diserahkan. Karena tak ingin ikut campur, Pangeran Mas diserahkan. Di Mataram, Pangeran Mas dibunuh.   

Pangeran Baliga yang berkuasa di Blega,  tewas saat berusaha menahan laju prajurit Mataram. Begitu pun di Pamekasan, hampir seluruhnya tak tersisa, sebab rakyat Pamekasan beserta pihak istana dan pasukannya enggan untuk mundur, namun lebih memilih mati ketimbang harus menurunkan senjata.

Akan halnya di Sumenep, suasananya tak jauh berbeda. Pertahanan militer Sumenep jebol. Pasukan Sumenep kalang kabut.  Cokronegoro I, raja Sumenep, masih sempat menyelamatkan diri.  Tiba di Sampang, Cokronegoro I dan seluruh pengawalnya dihadang pasukan Mataram. Cokronegoro I beserta pasukannya tewas, tetapi mereka masih bisa menyelamatkan putra mahkota yang berusia 3 tahun, bernama Raden Bugan ke Cirebon.  

Pasca-serangan besar itu, Madura menjadi sunyi. Sebab seluruh pemerintahan di Madura runtuh karena kehilangan para pemimpinnya. Mulai dari ujung timur Sumenep, hingga ujung barat di Arosbaya. Hanya saja, ada satu orang yang sengaja diselamatkan oleh Sultan Agung. Orang itu adalah Raden Praseno. Penerus kerajaan Arosbaya yang masih berusia   sangat belia.

Pemerintahan Tunggal
Untuk  memudahkan mobilisasi kekuasaan dan terciptanya stabilitas-keamanan di Madura serta meminimalisir pembangkangan pasca-penaklukan, Sultan Agung melebur semua kerajaan-kerajaan di seluruh Madura dalam satu pemerintahan tunggal yang berpusat di Madura barat.

Sekalipun Madura telah sepenuhnya totalitas dikuasai oleh Mataram, tetapi Sultan Agung lebih memilih agar Madura dipimpin oleh putra daerahnya sendiri. Dan sosok yang dipilih adalah Raden Praseno. Rupanya, Sultan Agung senang dengan karakter dan kepribadian yang dimiliki oleh Raden Praseno. Ia tak hanya diangkat sebagai anak, tetapi juga dinikahkan dengan salah seorang putrinya.

Selanjutnya, Sultan Agung mengangkat Raden Praseno sebagai raja seluruh Madura. Di samping sebagai penguasa seluruh Madura, Sultan Agung juga memberi jabatan penasehat militer di Mataram. Karena itu, Raden Praseno diwajibkan tinggal di istana Mataram. sementara tugas-tugas pemerintahan di Madura dijalankan oleh wakil-wakil Raden Praseno.

Dalam sepanjang sejarahnya, pemerintahan tunggal Madura ini tak selalu berjalan mulus. Terutama setelah wafatnya Sultan Agung. Sebab penerus Sultan Agung, Raden Mas Sayyidin yang kemudian bergelar Amangkurat, tak sebijak ayahandanya. Sikapnya arogan, sewenang-wenang dan sesuka hati dalam menjalankan pemerintahan. Banyak pihak dan termasuk para senior, dijatuhi hukuman mati.

Sebagai pihak yang terdekat raja, Raden Praseno pun mendapat getahnya. Pada tahun 1647, terjadi pembangkangan oleh Pangeran Alit, adik Amangkurat sendiri. Bersama sejumlah  anak buahnya, Pangeran Alit mendobrak keraton Mataram di Plered. Ia nekad ingin mengadu nyawa dengan sang kakak yang dianggapnya sewenang-wenang.

Menghadapi tindakan adiknya, Amangkurat bersiasat. Ia memerintahkan seluruh prajuritnya agar tak satu pun memberikan perlawanan, apalagi sampai melukainya. Demikianlah, ketika Pangeran Alit datang mengamuk, para prajurit hanya berani menghadang anak-anak buahnya. Tak ayal,  tak sedikit prajurit yang mati sia-sia terkena senjata pusaka setan kober milik Pangeran Alit.

Ketika Pangeran Alit akan sampai di keraton, muncullah Raden Praseno yang sedang memantau pembangunan keraton. Melihat kedatangan Pangeran Alit yang kalap, Raden Praseno berusaha merayunya agar mengurungkan niatnya. Tetapi Pangeran Alit tambah murka. Keris setan kober miliknya mengenai tengkuk Raden Praseno dan tewas seketika. Melihat ayahnya tewas, putranya yang bernama Demang Melayu Kusuma segera mengamuk.

Terjadilah duel keduanya. Orang-orang Madura yang ada di sekitar yang tak terima atas kematian rajanya juga mengamuk. Pangeran Alit dan Demang Melayu Kusuma akhirnya sama-sama tewas.

Fase Kedua Dinasti Cakraningrat
Kedudukan pemangku dinasti Cakraningrat kemudian diteruskan oleh putranya yang bernama Raden Undagan. Pada masa pemerintahannya, terjadi banyak pergolakan. Terbesar adalah pergolakan Pangeran Trunojoyo, yang tak lain adalah keponakan Raden Undagan sendiri.

Atas perintah putra mahkota Mataram, Raden Mas Rakhmat, Pangeran Trunojoyo merebut Madura untuk dijadikan tempat menghimpun kekuatan militer, dalam proyek penggulingan raja Mataram. Setelah seluruh Madura berhasil direbut, Pangeran Trunojoyo  menasbihkan dirinya sebagai penguasa seluruh Madura dan bergelar Panembahan Maduretno.

Akibat adanya campur tangan Belanda dalam pasukan Raden Mas Rakhmat, Pangeran Trunojoyo menolak memberikan kekuasaan Mataram yang telah berhasil direbutnya.

Dalam beberapa kali pertempuran yang sangat sengit, Mataram yang dibantu pasukan Belanda dan jagoan-jagoan dari Bugis dan Ambon, pemberontakan Pangeran Trunojoyo pun akhirnya berhasil dipadamkan. Pangeran Trunojoyo sendiri tertangkap.

Dampak lanjutan dari pergolakan Pangeran Trunojoyo, Madura timur yang terdiri dari Pamekasan dan Sumenep, memisahkan diri dari pemerintahan tunggal dinasti Cakraningrat dan menjadi pemerintahan tersendiri. Meski berusaha keras untuk menyatukan kembali Madura timur ke dalam payung kekuasaan dinasti Cakraningrat, Raden Undagan tetap gagal hingga akhir hayatnya.  Pada tahun  1707, Raden Undagan wafat. Putranya yang bernama Raden Suradiningrat menggantikannya sebagai pemangku dinasti.

Benteng Terakhir di Madura
Raden Suradiningrat mewarisi wilayah kekuasaan yang sudah sisa separuh. Ia hanya berkuasa di Madura barat. Sebagaimana ayahandanya, ia memiliki ambisi mempersatukan lagi seluruh Madura di bawah dinasti Cakraningrat. Tetapi cita-cita itu gagal, sebab Raden Suradiningrat kemudian terjebak pada konflik rumah tangga yang menyebabkan dirinya tewas di kapal kompeni pada tahun 1718.

Tahta dinasti Cakraningrat lalu beralih pada adiknya, Tumenggung Surahadiningrat. Dalam masa pemerintahannya, tanah Jawa sedang berkecamuk perang saudara sepeninggal Pakubuwono I. Didukung kompeni, Amangkurat IV (penerus Pakubuwono I) berhasil memenangkan peperangan. Pada 20 April 1726, Amangkurat IV wafat dan digantikan putranya yang bergelar Pakubuwono II. Di bawah kepemimpinannya, tanah Jawa belum berhenti dari pergolakan. Pergolakan terbesar di masanya adalah terjadinya perang yang disebut dengan ‘Geger Pecinan’.  

Menyaksikan tanah Jawa yang dianggapnya sudah bobrok dan rajanya tak bisa dipercaya, Tumenggung Surahadiningrat memutuskan untuk melepaskan diri dari pemerintahan Mataram yang berpusat di Jawa tengah. Meski berhasil menguasai hampir seluruh Jawa timur, gabungan pasukan kompeni, Mataram dan lainnya, Tumenggung Surahadiningrat yang diserang habis-habisan, lama-lama akhirnya terdesak.  

Sadar telah gagal menahan gempuran musuh, Tumenggung Surahadiningrat menyelamatkan diri ke Banjarmasin. Tetapi raja di sana justru membocorkan keberadaannya. Belanda pun menangkapnya.

Untuk menghindari karisma Tumenggung Surahadiningrat yang berpotensi mengobarkan kembali pergolakan di Jawa timur, Tumenggung Surahadiningrat kemudian dibuang oleh Belanda ke Tanjung Harapan. Tumenggung Surahadiningrat kemudian menjadi penguasa terakhir dari dinasti Cakraningrat yang paling ditakuti, baik oleh kompeni maupun penguasa tanah Jawa.

Setelah kekalahan Tumenggung Surahadiningrat, Madura kehilangan benteng terakhirnya untuk menghadapi kekuasaan di Jawa, termasuk membentengi Madura dari eksploitasi Belanda []

Bagikan
Banner

Mnews.web.id

Tulis Komentar:

0 komentar: