Sejak zaman Sultan Agung, setiap pemangku dinasti Cakraningrat memiliki
jabatan rangkap. Di samping menjadi raja yang berkuasa atas seluruh Madura,
juga merangkap sebagai orang kepercayaan raja Mataram. Karena itu, mereka diharuskan
untuk tinggal di istana Mataram. Raden Praseno, misalnya, pemangku generasi
pertama dinasti Cakraningrat ini juga menjabat sebagai penasehat kerajaan.
Saat Sultan Agung wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Raden
Mas Sayyidin dan bergelar Amangkurat, posisi tersebut tetap berlaku dan terus dipertahankan.
Terlepas dari aspek politisnya, menjadi orang kepercayaan raja tentu saja
merupakan bentuk kehormatan dan memiliki sisi istimewa tersendiri.
Namun demikian, menjadi orang kepercayaan raja tak serta-merta selalu
menguntungkan. Berbagai intrik dan politik yang terjadi di internal keraton
menjadi bumbu peristiwa yang harus ditanggung secara kesatria sebagai orang
terdekat raja. Hal ini juga menjadi resiko yang harus dihadapi oleh raja-raja
Madura dari dinasti Cakraningrat.
Besarnya resiko menjadi kepercayaan raja, bahkan telah dialami oleh Raden
Praseno, sebagai generasi pertama dari raja-raja dinasti Cakraningrat. Pada
tahun 1647, terjadi kisruh di keraton oleh peristiwa Pangeran Alit. Amangkurat
mencurigai adiknya tersebut akan melakukan pemberontakan sehingga banyak orang
terdekat sang adik dibunuh secara misterius. Tak terima oleh perlakuan sang
kakak, Pangeran Alit nekad menuju keraton untuk membunuh raja.
Di keraton, Amangkurat meminta semua penjaga dan prajurit agar membiarkan
apa saja yang diperbuat oleh adiknya. Tak satu pun diperbolehkan untuk melawan.
Amangkurat memiliki misi rahasia dengan taktik demikian, yaitu agar dirinya tak
dipersalahkan jika adiknya itu nanti tiba-tiba terbunuh.
Siasat Amangkurat menemukan momentumnya. Ketika Pangeran Alit yang kalap
sampai di alun-alun, bertemulah ia dengan Raden Praseno yang sedang memantau
pembangunan keraton. Melihat Pangeran Alit yang kalap dan memaksa akan memburu
Amangkurat, sontak Raden Praseno berusaha merayu Pangeran Alit agar
mengurungkan niatnya.
Tampaknya, Raden Praseno tidak mengetahui adanya strategi pembiaran dari
Amangkurat, sehingga ia masih berupaya merayu Pangeran Alit. Meskipun sikap Raden
Praseno tidak menunjukkan permusuhan, tetapi Pangeran Alit kadung murka. Ia kemudian
melayangkan keris setan kober miliknya. Mengenai pundak Raden Praseno yang
kemudian tewas seketika.
Tak terima kematian ayahnya, Demang Melayu Kusuma menyerang Pangeran Alit.
Begitu pun dengan prajurit Madura yang marah atas kematian Raden Praseno lalu
mengamuk. Demang Melayu Kusuma yang terkena goresan keris setan kober juga
tewas seketika.
Menurut De Graaf, para prajurit Madura kemudian dihukum mati oleh Amangkurat,
karena dianggap melanggar ketetapan yang telah diberlakukan, yaitu agar
membiarkan Pangeran Alit dan tidak coba-coba menghalanginya []
Tulis Komentar:
0 komentar: