Translate

slider

Terbaru

Navigasi

Pangeran Trunojoyo Vs Raden Bugan; Dari Medan Perang hingga Medan Diplomasi

Memiliki takdir hidup yang hampir mirip. Sama-sama kehilangan akar keluarga akibat konflik dan kekuasaan. Pangeran Trunojoyo dan Raden Bugan tumbuh menjadi pejuang tangguh. Mencintai rakyat sekaligus juga sangat dicintai oleh rakyatnya. Rela bertaruh nyawa demi bangsa dan negaranya.

Tahun 1626. Puluhan ribu prajurit Mataram kembali mendarat di pulau Madura, setelah serangan pertama gagal-total menundukkan kerajaan-kerajaan di Madura. Serangan kilat ini lebih kuat dari sebelumnya. Pendaratan kali ini tidak lagi fokus pada satu tempat, tetapi pada semua lokasi yang mampu menjangkau pusat-pusat kekuasaan di seluruh Madura.

Dalam serangan kilat ini, elit-elit petinggi kerajaan-kerajaan di Madura hampir semuanya terbunuh. Di Sumenep, menyadari kekuatan musuh sangat besar dan tidak ada peluang untuk bertahan, Cokronegoro berusaha menyelamatkan diri. Tiba di Sampang, rombongan ini gagal menahan gempuran musuh. 

Selagi ada kesempatan, Cokronegro dan para prajurit bertahan mati-matian, demi menyelamatkan putra mahkota yang masih usia 3 tahun. Bayi tersebut akhirnya berhasil diselamatkan. Dititipkan ke keraton Cirebon. Anak usia 3 tahun tersebut tak lain adalah Raden Bugan.

Tahun 1647 di keraton Mataram. Setelah wafatnya Sultan Agung, putranya yang bernama Raden Mas Sayyidin, naik tahta. Bergelar Amangkurat I, ia dikenal dengan arogansi dan kesewenang-wenangannya. Tidak terkecuali terhadap anggota keluarganya sendiri. 

Salah satu peristiwa besar akibat kesewenang-wenangannya adalah tragedi Pangeran Alit. Adik Amangkurat I sendiri. Dituduh akan memberontak, sang adik marah. Kemudian mencoba menerobos ke dalam istana Mataram di Plered. Ketika ia hampir mendekati tempat raja, dihadanglah ia oleh Raden Praseno, penguasa Madura yang bergelar Cakraningrat. Memohon agar sang pangeran mengurungkan niatnya.

Celakanya, Pangeran Alit tak menggubris. Ia menyambarkan kerisnya ke Raden Praseno. Mengenai bahu. Meski tergores sedikit, Raden Praseno tewas seketika. Mengetahui hal itu, putranya yang bernama Demang Melayu Kusuma tidak terima. Para prajuri Madura yang sama marahnya juga menghambur maju. Menyerang Pangeran Alit. Demang Melayu Kusuma yang juga terkena goresan, tewas di tempat.

Demang Melayu Kusuma memiliki seorang putra usia 7 tahun, yaitu Pangeran Trunojoyo. Setelah meninggalnya sang ayah, Pangeran Trunojoyo dibawa pamannya pulang ke Madura untuk diasuh keluarganya. Sang paman adalah Raden Undagan atau Cakraningrat II. Ketika tumbuh remaja, sang paman menyimpan rasa tidak suka. Suatu hari Pangeran Trunojoyo diusir dengan tuduhan telah mencintai putri Raden Undagan. 

Menurut babad Tanah Jawi, Pangeran Trunojoyo jadi luntang-luntung setelah diusir. Sebab, ia selalu diuber oleh sang paman. Untungnya, rakyat Madura sangat mencintainya sehingga keberadaannya selalu dilindungi. Pangeran Trunojoyo bertemu Panembahan Kajoran. Merasa anak di depannya memiliki bakat besar, Panembahan Kajoran menikahkannya dengan salah seorang putrinya.

Kemudian datang peristiwa yang mengubah jalan hidup Pangeran Trunojoyo di tahun 1670. Bersama mertuanya, Panembahan Kajoran, ia dipanggil oleh Raden Mas Rakhmat. Putra mahkota Mataram. Memintanya menjadi wayang untuk menggulingkan kekuasaan ayahandanya. Raden Mas Rakhmat memberinya dana dan peralatan perang sebagai bekal. Pangeran Trunojoyo kemudian pulang ke Madura. Menjadikan Madura sebagai basis menghimpun kekuatan militer.

Untuk kepentingan penggulingan kekuasaan Amangkurat I, Pangeran Trunojoyo merasa perlu memperkuat spiritualitasnya. Selain meminta restu sang ibunda, ia juga bertapa di situs sumur daksan dan situs Pangeran Bangsacara. Di situs Pangeran Bangsacara, tanpa diduga Pangeran Trunojoyo mengalami pertemuan dengan seseorang yang juga sedang bertapa di situs yang sama. 

Seseorang tersebut adalah Raden Bugan. Merasa seperjuangan dan sepenanggungan, keduanya langsung akrab. Dan berjanji saling menjaga persahabatan dan memperjuangkan keadilan.

Raden Bugan pulang ke kampung halaman ayahandanya di Sumenep, sementara Pangeran Trunojoyo melanjutkan misi memperkuat militer sebelum menggempur istana Mataram. Salah satunya ia berkoalisi dengan orang-orang Makassar yang sedang terusir dari tanah leluhurnya oleh ekspansi VOC di daerah mereka. 

Setelah kuat pasukannya, Pangeran Trunojoyo mulai menaklukan Sumenep. Atas siasat Pangeran Trunojoyo dengan sahabatnya, yaitu Raden Bugan, Sumenep dapat ditundukkan tanpa perlu peperangan. Raden Bugan menjadi bupati atau Rato Sumenep.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Pangeran Trunojoyo berhasil memenangkan pertempuran untuk menggulingkan kekuasaan Amangkurat I. Sayangnya, ketika perjuangan hampir berhasil, Raden Mas Rakhmat tidak cukup sabar untuk memetik buah. Menyadari pasukan Pangeran Trunojoyo telah meraih banyak keberhasilan di medan tempur, ia meninggalkan Pangeran Trunojoyo yang mulai digempur habis-habisan oleh pasukan Belanda. 

Keterlibatan Belanda dalam pasukan Raden Mas Rakhmat, juga telah memicu ketidaksenangan Pangeran Trunojoyo. Ia menolak menurunkan senjata dan memberikan mahkota Majapahit.

Untuk menumpas pasukan Pangeran Trunojoyo, Belanda terpaksa mendatangkan jagoan-jagoan perang dari berbagai daerah di Nusantara. Setelah melewati berbagai pertempuran yang sangat sengit, Pangeran Trunojoyo akhirnya mengalami kekalahan. 

Setelah Pangeran Trunojoyo berhasil ditangkap, Raden Mas Rakhmat yang sangat kesal, menikam Pangeran Trunojoyo dengan keris Balabar. Diikuti oleh pejabat-pejabat lainnya. Meski mati mengenaskan, tetapi Pangeran Trunojoyo menerima kematiannya dengan kesatria. 

Di bawah ancaman keris pusaka keraton yang terkenal keganasannya itu, Pangeran Trunojoyo memilih tak berteriak atau meminta ampun. Ia tetap tenang dan lapang menghadapi detik-detik kematiannya.

Ketika Pangeran Trunojoyo dan perlawanannya telah dikalahkan, Raden Bugan masih berkuasa di Madura timur. Sebagaimana sahabatnya, ia berani bertaruh nyawa demi kehidupannya rakyatnya. Hanya saja, kali ini ia mengekspresikan berani bertaruh nyawa tidak lagi menempuh jalan militer atau peperangan. 

Demi keadilan dan kemakmuran rakyat, Raden Bugan memilih jalan diplomasi. Ia berdamai dengan Belanda dan penguasa Jawa.

Karena keadilan dan kemampuanya mengelola negara dan meningkatkan taraf perekonomian, rakyat sangat mencintainya. Sedang berkat kemampuan diplomasinya, Belanda menjadi susah menggesernya dari kedudukan bupati sekalipun ia dikenal masih pendukung fanatik dari Pangeran Trunojoyo. []


Bagikan
Banner

Mnews.web.id

Tulis Komentar:

0 komentar: