Translate

slider

Terbaru

Navigasi

Prof Daniel M Rosyid; Memahami Runtuhnya ‘Keluarga’ sebagai Sekolah Pertama

Ini adalah zaman paling mendebarkan bagi para orang tua. Dunia anak dikepung lingkungan yang sangat buruk dan serba bebas; mulai dari pergaulan, gadged yang sediakan pornografi hingga buruknya teladan para pemimpin.
 

Belum lagi gelontoran berita-berita yang seliweran di media-media online. Makin banyak saja yang memberitakan kelakukan menyimpang anak remaja, terlibat narkoba, tindak kriminal, hingga perbuatan mesum. Menambah ketakutan para orang tua akan masa depan putra-putrinya.

Betapa tidak, Daniel dengan tegas menyatakan bahwa media tidak memilih pengaruh yang signifikan atas karakter anak. Pandangan ini tentu sangat bertentangan anggapan umum, tentang pengaruh besar media, baik cetak maupun elektronik.

“Sebetulnya yang bermasalah itu bukan medianya. Tetapi adalah pembentukan mentalnya. Hanya anak-anak yang lemah yang terpengaruh oleh media, yaitu lemah di wilayah aspek analitisnya,” demikian disampaikan oleh Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologu Sepuluh November Surabaya, Prof Daniel M Rosyid PhD, M. RINA.

 Daniel menjelaskan, masalah terbesar anak zaman sekarang adalah ketidakmampuan mereka mengolah nalar analitis. Daya analitis mereka menurutnya tumpul, sehingga tidak mampu memilah dan memilih mana yang pantas dan tidak pantas.

“Anak-anak sekarang dilatih bagaimana memberdayakan kekuatan hapalannya. Tetapi aspek analitisnya dipinggirkan.  Mereka dilatih agar berhasil menyelesaikan ujian kertas, tetapi tidak dilatih menghadapi dan menyikapi ujian kehidupan. Maka, tidak heran, jika mereka akhirnya tidak terlatih mencerna apa-apa yang mereka tonton,” tambahnya.

Karena lemahnya daya analitis, lanjutnya, maka mereka pun mengambil apa saja yang telah mereka tonton selama ini. Maka jadilah sinetron, game online, dan internet  dan sejenisnya kini tak ubahnya sekolah. Dari media-media itu, anak-anak mendapatkan pengetahuan tambahannya.

 “Karena itu, masalah terbesar selanjutnya adalah sikap dan paradigma orang tua mengenai sekolah. Sebab apa? Tidak sedikit dari para orang tua yang secara totalitas mempercayakan tumbuh-kembang anak kepada yang namanya sekolah.  Di sisi lain,  para guru tidak begitu berminat soal pemberdayaan karakter. Karena yang mereka pikirkan bagaimana ini siswa bisa lulus semua,” kata Daniel.

Solusinya, jelas Daniel, sebaiknya ada pelatihan menjadi orang tua sebelum menuju pernikahan. Dengan demikian, mereka tahu bagaimana menjadi sosok bapak dan ibu yang terbaik bagi putra-putrinya. Yakni, orang tua yang mampu membina anak memiliki kemampuan memilah dan memilih mana yang pantas dan tidak pantas.

 “Artinya apa? Bahwa menikah itu tidak berhenti karena urusan melulu biologis. Tapi urusan budaya. Sehingga anak tidak menjadi yatim-piatu budaya. Di mana, anak kemudian seperti anak di jalanan. Mereka tidak memperoleh pendidikan, tak ubahnya anak-anak jalanan. Ya karena orang tuanya sibuk dengan dirinya sendiri,” terangnya.

Daniel memaparkan lebih detail terkait istilah anak yatim piatu-budaya. Menurutnya, anak-anak yang disandarkan semata pada sekolah, karena kesibukan orang tua merintis karir, mereka potensial menjadi anak yang yatim piatu-budaya. Yaitu anak-anak yang kehilangan kasih-sayang dan pendidikan karakter di ruang keluarga.

 “Seolah-olah, jika sudah memberikan kecukupan materi pada anak maka semua tugas sebagai orang tua telah selesai. Ini kan keliru,” tegasnya.

Dijelaskan Daniel, yang dibutuhkan anak sesungguhnya bukanlah terpenuhinya segala fasilitas, tetapi terpenuhinya perhatian dan kasih-sayang yang cukup. Itulah sebabnya, Daniel menganggap sangat penting tentang perlunya pelatihan menjadi orang tua sebelum pernikahan (Pertama kali dimuat dalam Majalah Al-madina Surabaya) []

 

 

 


Bagikan
Banner

Mnews.web.id

Tulis Komentar:

0 komentar: