Translate

slider

Terbaru

Navigasi

Cakraningrat IV: Raja Madura Yang Perkasa, Disegani Kompeni, Ditakuti Raja Jawa

Kehadiran Cakraningrat IV dan pasukannya selalu menggentarkan musuh.

Kursi Raja Dinasti Cakraningrat/ foto/sahidinwangsingrono

Nama aslinya adalah Tumenggung Surahadiningrat. Ia adalah putra Raden Undagan atau Cakraningrat II. Tumenggung Surahadiningrat naik tahta setelah kakaknya, yaitu Cakraningrat III terbunuh di kapal Belanda pada tahun 1718.

Ketika memerintah Madura, wilayah kekuasaannya sisa separuh, sebab Madura timur telah digadaikan kepada kompeni oleh raja Mataram, yaitu Pakubuwono, sebagai harga mahal telah membantu mendudukkannya sebagai raja di tahta Mataran. 

Hal ini membuat Tumenggung Surahadiningrat gusar. Sebagai kerajaan bawahan Mataram, Cakraningrat juga jengkel dengan karakter raja Mataram yang menurutnya tidak memiliki jiwa kepemimpinan, sehingga tanah Jawa tidak lagi menjadi negara yang aman

Karena itu, ia mencari cara agar Madura bisa berdiri setara dengan Mataram. Dengan demikian, Madura tak lagi dijadikan sapi perah dan mendapat perlakuan seenaknya dari raja-raja Mataram.

Langkah yang dilakukannya cukup ekstrem yaitu adalah dengan mendekati kompeni yang selama ini telah menjadi sekutu terkuat raja-raja Mataram. Tumenggung Surahadiningrat menyadari betul, kompeni sedang membutuhkan sekutu lain yang mampu menandingi karisma Mataram.

Dengan mendekati kompeni, Cakraningrat memperoleh dua keuntungan sekaligus dari dua ancaman marabahaya, yaitu bahaya dari Mataram dan sekaligus ancaman bahaya dari Kompeni itu sendiri.

Langkah berdiri di dua kaki ini manjur. Mataram yang sungkan kepada kompeni, tidak berani lagi mengotak-atik Madura. Demikian juga kompeni yang sedang membutuhkan sekutu, merelakan Madura ketika memperluas wilayah kekuasaannya.

Cakraningrat IV terlibat dalam beberapa kali perang besar. Di antaranya adalah pemberontakan yang susah sekali dipadamkan oleh raja Mataram dan kompeni, yaitu pemberontakan penguasa Surabaya, Arya Jayapuspita.

Berikutnya, dalam perang yang terkenal dengan “Geger Pecinan” di tahun 1745. Peristiwa ini sejatinya dipicu oleh pembantaian pihak kompeni atas warga Tionghoa di Batavia. Perang ini hampir membuat kompeni-Belanda musnah dari tanah Jawa

Raja Mataram yang semula mendukung penuh perlawanan warga Tionghoa ini, tiba-tiba berbalik mendukung kompeni. Orang-orang Jawa yang kecewa atas sikap raja, lalu bersatu dengan warga Tionghoa, sehingga menjadi pasukan yang sangat tangguh.

Puncaknya, mereka berhasil merebut Keraton Mataram. Meski dibantu kompeni, tetapi raja selalu gagal merebut kembali istananya. Kompeni lalu meminta bantuan Cakraningrat IV, sebab ia satu-satunya pihak yang dianggap memiliki kekuatan tangguh melumpuhkan musuh. Cakraningrat meminta syarat Jawa Timur, kompeni terpaksa mengiyakan syarat tersebut.

Penilaian kompeni benar. Aliansi Jawa-Tionghoa gagal menahan gempuran operasi yang digerakkan oleh Cakrningrat IV. Keraton Mataram yang dikuasai aliansi Jawa-Tionghoa berhasil kembali direbut.

Cakraningrat yang menganggap tanah Jawa bobrok karena pemimpin yang rusak dan tidak amanah, segera menyiagkan angkatan perangnya, begitu Belanda ingkar janji tidak memberikan Jawa Timur.

Seluruh Jawa timur berhasil dikuasainya.

Tetapi, sehebat apapun Cakraningrat, ia hanya memiliki pasukan yang berjumlah kecil. Pasukan gabungan kompeni-mataram yang tak habis-habis, berhasil menjebol pertahanan Cakraningrat di Madura, karena wilayah Sumenep yang lengah tidak dijaga oleh Cakraningrat

Meski akhirnya Cakraningrat kalah dan diasingkan tanah sebrang, tetapi karismanya tetap menggentarkan. Tebrukti, Madura dan Surabaya tetap diberikan kepada keturunan-keturunannya oleh kompeni []

Bagikan
Banner

Mnews.web.id

Tulis Komentar:

0 komentar: