(Mnews.web.id) - Bicara Tahun Baru Imlek di Indonesia, pasti juga bicara sosok Abdurrahman Wahid, atau yang akrab dipanggil Gus Dur.
Hal ini disebabkan Gus Dur merupakan tokoh yang membuka kran kebebasan bagi warga Tionghoa untuk mengekspresikan diri dan kebudayaan yang dimilikinya.
Menurut Novi Basuki, Pemerhati sekaligus penulis buku "Islam di China: Dulu dan Kini", sebelum dibuka krannya oleh Gus Dur, Imlek tidak ubahnya obat terlarang, khususnya era orde baru (orba).
"Bukan hanya itu. Di zaman orba, warga Tionghoa tidak bisa menyelenggarakan kebudayaan Tionghoa di depan umum. Tidak bisa berbicara bahasa Mandarin di depan umum. Juga tidak bisa sekolah berbahasa Mandarin," tandas Novi, yang menjadi salah satu narasumber dalam acara dialog Imlek dan Gus Dur, yang diadakan oleh Yayasan-Perkumpulan Tionghoa, kerja sama dengan Universitas Ciputra, di Atrium LG Ciputra World Mall Surabaya, Sabtu (22/1/2023).
Semuanya, sambung Novi, berubah begitu Gus Dur menjadi Presiden. Sebab cucu Hasyim Asy'ari tersebut mencabut aturan-aturan yang membelenggu kebebasan berekspresi warga Tionghoa.
"Itu artinya, Gus Dur mengajak dan mengajarkan kepada kita bahwa kita tidak boleh terlalu fanatik pada satu hal, keyakinan atau ideologi," imbuhnya.
Baca Juga: Antek Kompeni dan Laskar-Laskar Madura
Dalam acara yang diinisiasi oleh Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo Indonesia (YHMCHI), DPW Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jatim, DPD PITI Surabaya dengan Yayasan Bhakti Persatuan (YBP), Paguyuban Masyarakat Tionghoa Surabaya (PMTS), dan Universitas Ciputra tersebut, hadir sejumlah pihak.
Di antaranya, Dr. Lia Istifhama, MEI (Ketua DPD Perempuan Tani HKTI Jatim), Johan Hasan (Universitas Ciputra), H.A. Nurawi (Ketua Koordinator PMTS), Haryanto Satryo (Ketua PITI Jatim), Rasmono Sudarjo (Sekretaris PMTS), Dr. David S.Kodrat MM., CPM CRME & H (Universitas Ciputra) [] []
Tulis Komentar:
0 komentar: